Selasa, 08 Maret 2011

CERPEN: SEPOTONG SAJAK BUAT VINA

SEPOTONG SAJAK BUAT FINA
Hari  itu masih teramat pagi. Matahari pun belum berani menampakkan Wajahnya. Namun pagi itu Pak Usman telah sampai di kantor tempat dia bekerja.  Yah ... di pagi yang masih terlalu awal itu pak Usman sudah sampai di halaman sekolah. Sebagai seorang guru yang profesional, Pak Usman hampir tidak pernah terlambat masuk kelas. Apalagi hari ini adalah hari Rabu. Hari yang pada jam pertama dia harus masuk ke kelas XI IPA3. Kelas yang bagi dia merupakan kelas yang istimewah. Kelas yang di dalamnya terdapat seorang siswa yang mampu menggetarkan hatinya. Kelas yang membuat dia harus mampu membedakan dirinya sebagai seorang ‘Bapak’ yang harus membimbing, membina, menjaga, sekaligus memotivasi siswanya untuk maju dengan dirinya sebagai seorang lelaki normal yang menginginkan seorang pendamping hidup. Yah... Pak Usman adalah salah satu dari lima guru yang masih bujang di SMA Negeri 17 Lamongan.
Pagi itu adalah pagi yang cukup indah dan sekaligus merisaukan bagi Pak Usman. Di satu sisi pagi ini adalah pagi yang rencananya Pak Usman akan menuliskan sebait puisi buat Fina. Sebait puisi yang merupakan balasan dari puisi yang telah ditulis oleh Fina. Puisi yang di bagian akhirnya tertulis inisial Cindy C.. Dan, memang itulah nama pena dari Fina (Firzal Nailah Azuhrah). Tidak ada yang tahu mengapa Fina memakai nama itu, tapi bukan sebuah rahasia lagi bahwa Cindy C. adalah nama Penanya. Di setiap karyanya dia selalu mencantumkan nama itu. Namun, di lain sisi, pagi ini adalah pagi yang cukup indah karena pagi ini adalah pagi yang mampu melipatgandakan semangatnya untuk menyampaikan materi pelajaran. Pagi ini Pak Usman akan masuk ke kelas XI IPA3. Dan, itu artinya dia akan bertemu dan bisa melihat Fina dari dekat meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa setiap dia masuk ke kelas tersebut perasaannya selalu berada dalam persimpangan. Dua pilihan perasaan yang teramat sulit ditentukan ketika dia berdiri di depan kelas. Dia tidak kuasa menentang statusnya sebagai orang tua yang harus ‘ngemon’ , membimbing, melindungi, mengarahkan dan sekaligus memberi motivasi siswanya untuk berprestasi. Selain itu, dia juga tidak mampu membohongi dirinya bahwa dia adalah seorang lelaki normal yang memiliki hak untuk menyukai lawan jenisnya tanpa terkecuali siswanya sendiri, FIRYAL NAILAH AZZAHRAH (FINA). Ya.... gadis pendiam namun selalu aktif dalam setiap kegiatan itu secara diam-diam telah mampu menyusup dalam lembar kehidupan Pak Usman. Tidak hanya cantik, tetapi gadis yang berperawakan tinggi dan berkulit bersih ini juga memiliki kepandaian yang cukup bisa dibanggakan. Tidak ada seorang guru pun yang meragukan itu karena dia adalah runer up Yak Yuk Kabupaten Lamongan tahun lalu. Namanya selalu menjadi buah bibir di ruang guru. Ini juga yang dulu membuat Pak Usman penasaran ingin mengetahui gadis yang bernama  FIRYAL NAILAH AZZAHRAH.
Setelah tahun ajaran baru, kebetulan Pak Usman mengajar di kelas yang FIRYAL NAILAH AZZAHRAH berada di dalamnya, yaitu kelas XI IPA3. Dan, ketika kali pertama masuk ke kelas tersebut, yang dicari pertama kali adalah FIRYAL NAILAH AZZAHRAH (FINA). Tidak bisa dipungkiri, gadis inilah yang membuat Pak Usman merasa ada sesuatu yang berbeda di hatinya sejak pertama dia melihatnya. Dan, sejak pertama bertemu itulah Pak Usman selalu ingin mengetahui lebih dalam tentang diri Fina hingga suatu ketika Pak Usman yang guru bahasa Indonesia itu memberi tugas kepada siswa kelas XI IPA3 untuk membuat sebuah puisi. Pak Usman memerintahkan siswanya untuk mengungkapkan isi hati lewat sebuah puisi. Para siswa diminta untuk menuliskan apa yang mereka pikirkan saat ini melalui sebuah puisi. Setelah semua tugas terkumpul, di rumah, Pak Usman membaca hasil karya siswa-siswanya satu per satu. Ketika dia membaca puisi yang di bagian bawahnya tertulis nama Cindy C. dia tertegun. Dia ingat bahwa Cindy C. adalah nama pena dari Fina. Lalu dia membacanya lebih dalam

"Pintu"

Bagiku, hati bagaikan sebuah rumah.
Yang berpintu, agar kita punya jalan untuk keluar dan memasukinya.
Sejak dulu aku bilang, pintu hatiku senantiasa kututup rapat,
tapi tak  berarti tak bisa dibuka, bukan?
bahkan kau pun telah mencoba dan nyaris berhasil membukanya.
Sebenarnya aku tidak trauma untuk membuka pintu hatiku kembali.
Bahkan, sangat mudah aku membukanya jikalau kau tahu caranya.
Tak perlu banyak syarat, cukup ketuklah ia dengan sopan dan dengan ketulusan.
Tak perlu banyak perjuangan, hanya sepenuh kesetiaan dan kesabaran
Karena maklumilah, aku pernah, dan sering tertipu dalam membuka pintu.
Seringkali orang datang mengetuk pintuku, dan saat kubuka mereka justru kabur meninggalkan aku yang telah terlanjur ramah menyambut kedatangannya.
Wajarlah, bila kemudian timbul kecewa, bahkan saat adegan itu terjadi berulang-ulang terhadap "pintu" milikku.
Maka, bersabarlah, karena aku senantiasa berusaha untuk bisa membuka pintuku lebar-lebar.
Aku tak pernah jahat, buktinya aku tak pernah mengusirmu,kan?
Itu juga salah satu tanda bahwa aku mau berusaha membuka kembali pintuku untukmu
Membuka grendel dan gembok yang dulu kukancing rapat-rapat.
Sekali lagi, hanya ketlatenan dan kesabaran yang aku butuhkan.
Karena rasa trauma itu susah untuk hilang.
Tapi aku percaya, susah itu bukan berarti tidak bisa,kan?
dan aku berharap kau mengerti.
Lebih dari itu, aku berharap, sangaaatt,,,sangaattt,,,dan sangat,,
bahwa kaulah yang benar membawa kunci duplikat untuk membuka pintuku, dan penuh kesabaran betah berdiam selamanya di sana.
Sebab, jika tidak, atau jika kau sudah tak sabar dan meninggalkanku,
maka aku tak yakin, apakah pintuku masih bisa dibuka lagi?
Karena jika benar kau menyerah kali ini, gembokku pasti akan terus terkunci dan berkarat,
Sehingga pintuku, akan selalu tertutup, dan tak akan pernah terbuka lagi.
                 Cindy C.

Dia mencoba memahami kata-kata yang ditulis oleh Fina dalam setiap barisnya. Lalu dia menemukan sebuah makna yang teramat dalam. Dia melihat bahwa Fina telah benar-benar mencurahkan isi hatinya lewat puisi tersebut. Lalu, Pak Usman menyimpulkan secara sepihak bahwa puisi tersebut benar-benar telah ditujukan padanya. Hatinya tidak tenang. Dia ingin segera memberikan balasan puisi tersebut.  Lalu dia mencoba menyusun kata-kata dalam selembar kertas. Setelah selesai kertas tersebut kemudian di lipat dan dimasukkan ke saku bajunya yang besuk di hari Rabu akan dipakai untuk mengajar.
Hari Rabu pun tiba, pagi sekali Pak Usman sudah ada di Ruang guru. Dia duduk di kursinya. Pikirannya tak tenang. Hatinya gelisah menanti pertemuannya dengan Fina. Perlahan dia bangkit dari duduknya. Kemudian berjalan menyusuri lorong-lorong kelas. Semuanya masih sepi. Dia terus melangkahkan kakinya menyusuri lorong kelas. Kelas X1, X2, X3,. Melewati kamar mandi X6, X7, X8,. Berhenti sejenak di depan sanggar teater. Mengamati taman yang ada di depan sanggar. Dia melanjutkan berjalan. Melewati XI IPA1, XI IPA2, dan akhirnya sampai di XI IPA3. Dia tertegun. Semuanya sepi. Tak ada suara. Tak ada orang. Tak ada bangku. Tak ada meja guru. Tak ada kursi. Hanya ada satu cahaya putih. Dia mencoba masuk ingin mengetahui apa yang ada di dalamnya. Dia terus melangkah..... melangkah.... dan terus melangkah..... hingga jauh.... jauh ..... dan jauh .....  meninggalkan semuanya. Meninggalkan ruang guru. Meninggalkan lorong-lorong kelas. Meninggalkan sanggar teater.  Meninggalkan kelas XI IPA3. Meninggalkan Fina. Meninggalkan semua kenangan. Meninggalkan sebuah tulisan di selembar kertas  yang berada di dalam saku bajunya. Di ruang guru, semua ribut. Semua berkomentar. Lalu semua menitikkan air mata. Tanpa ada penjelasan apa-apa, tubuh Pak Usman tertidur pulas untuk selamanya di atas kursi dengan kepala tertelungkup di atas meja dan hanya meninggalkan sebuah catatan

KERAGUAN MENGHAMBATKU

Bagiku, hatiku bagaikan seorang musyafir
dalam perjalanan panjang yang kehabisan bekal.
Tenggorokkanku juga sudah merindukan setetes air.
Sementara wajahku sudah penuh dengan luka bahkan mungkin sudah bernanah.
Mana mungkin aku akan memberanikan diri untuk memasukki pintumu
Yang terbuat dari marmer berlapis permata
Bahkan mengetuk pun aku masih ragu.

Sebenarnya aku sangat berharap bisa masuk ke dalam ruang di balik pintu itu.
Dan aku juga sudah dapat membayangkan betapa damainya tinggal di sana.
Aku yakin aku akan betah untuk tetap di situ selamanya.
Namun, ketika kaki ini mulai mendekat,
tiba-tiba keraguan menyeretku untuk bersembunyi di balik semak.

Memang, aku akui, aku pernah bahkan beberapa kali mengetuk pintumu.
Namun, setelah kuketuk pintumu, rasa ragu selalu kembali menyeretku
Dan sembunyi di balik semak.

Maafkan aku.
Bukannya aku kabur atau melarikan diri atau bahkan meninggalkanmu
setelah kau membukakan pintumu lebar-lebar untukku,
tapi semata-mata karena keraguanku yang selalu menghalangiku untuk dapat masuk
dan  berdiam diri dalam ruang di balik pintu itu.

Tapi, tidak berani bukan berarti tidak mau, kan?
Maka tunggu sajalah.....
Aku akan berusaha sekuat tenaga mengumpulkan keberanianku untuk menentang keraguan itu.
Aku akan mencoba memasuki pintumu.
Dan aku sangat tidak menginginkan gembokmu akan berkarat karena aku yakin
akulah yang membawa kunci duplikat pintumu.
Tunggulah aku.......
                             To: Cindy C. (FINA)

                                    USM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar